Dalam perkembangan Seni Ukir yang dibuat dalam bentuk event yang jatuh pada minggu ke dua bulan Oktober. Merupakan awal dari keperihatinan akan mundurnya budaya asli Asmat, gereja loka Keuskupan Agats memulai lomba ukir pada tahun 1981 dengan 36 ukiran dari 36 pengukir yang dipamerkan dan dilelang pada saat itu. kekuatan seni Asmat terletak pada simbol-simbol yang mengandung kompleksitas makna yang sangat mendalam akan filosofi dan religi suku Asmat.
kekaguman kita pada seni Asmat terutama seni ukir adalah kreativitas mereka memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam. Para seniman Asmat dulu sekedar menggunakan batu, tulang dan kerang sebagai perkakas utama untuk mengukir. Besi baru digunakan kemudian yang dimulai dengan memanfaatkan paku. Paku yang kemudian berkembang dengan menggunakan pahat dan kampak besi. peralian dari perkakas alami ke besi menjadikan seniman menciptakan benda seni yang lebih rumit dan tinggi mutunya.
Proses itu tentu saja terjadi karena munculnya tafsir-tafsir baru dalam falsafah dan keagamaan masyarakat sebagaimana perkembangan sebuah kebudayaan. Meskipun demikian harus disadari bahwa sampai saat ini masing - masing dari 12 rumpun suku Asmat tetap mempertahankan unsur-unsur substantial dalam pengungkapan seni mereka sebagai kewajiban dan warisan leluhur, misalnya lambang pola warna dan tipe-tipe seni.
Masing-masing dari 12 rumpun suku Asmat memiliki perbendaan - perbendaan menonjol pada seni pahat mereka. Tiap seniman mengungkapkan jatidiri mereka dalam bentuk - bentuk patung, ukiran relief, kerawang, irisan dan sketsa dengan komposisi dan pola warna yang khas. mereka membentuk gambaran antropomorfis seperti sosok - sosok roh, dan aneka lambang dan simbol yang terhubung satu sama lain dalam komposisi ukiran untuk mengekspresikan unsur keagamaan dan falsafah hidup tertentu suku Asmat.
Semua informasi dalam blog ini, merupakan hasil tulisan dari Museum Asmat dan Komunitas Asmat Fotografi.
Penulis
Red KAF